Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.
Pada
waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang
Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar
beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad
Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada
arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden
memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi
petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2
hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh
dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya
Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden
berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya
serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Rute
yang dilalui Wakil Presiden adalah
Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan
Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan
resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati
Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin
Ginting’s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat
Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun
dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi.
Dalam pertemuan itu wakil presiden memberi penjelasan tentang situasi
negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi
Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Selesai
memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana,
sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang
Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden
selanjutnya melakukan: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap
supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi
untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.
Setelah
wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via
Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan
Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang
dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat
berbahaya.
Apabila Belanda dapat
merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah
dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa
pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu
dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan,
memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan
satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan
di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh
Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten
Bangsi Sembiring.
Sesudah persiapan
rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan
puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa
Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat
(Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara
perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan
raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sedang
sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah
terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan
pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.
Seraya
memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden
mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah
Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan
Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via
Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.
Sementara
itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan
pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya
berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati
Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu
negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan
Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun
sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh
pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan
taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51
Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Taktik
bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari
rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik
Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki
termasuk desa dengan segala isinya.
Kenyataan
itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting
mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang
berbunyi sebagai berikut:
“Dengan
surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan
di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten
Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan
militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer.
Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang,
Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer
dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing
Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.
Selanjutnya
melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden
Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit
Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden
tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Bukittinggi, 1 Januari 1948“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka! Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO. Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita. Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya. Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi. Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”. Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Selanjutnya,
untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum
diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah
Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai
pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.
Akibat
serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25
Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta
Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng.
Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta
perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala
pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga
pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.
Setelah
perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948,
Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus
keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari
Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.
Barisan
bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli
Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula
pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi
dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin
Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar
pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL
pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.
Berdasarkan
ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah
ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo
yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7
Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih
Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana,
dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.
Selanjutnya
untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera
Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel
atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang
dunia kedua.
Administrasi
pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai
oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda
berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya
diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah
namanya menjadi Onderdistrick.
Adapun
susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur
adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van
Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak
Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak
Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem
Perangin-angin.
Refrensi :
Refrensi :
- http://silima-merga.blogspot.com/2011/02/sejarah-kabupaten-karo-zaman.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar