Powered By Blogger

Senin, 11 Maret 2013

Kematian dan Upacaranya di Adat Karo


Kematian dalam adat Karo secara umum dibagi dalam 3 (tiga) jenis yakni ;
  1. Cawir Metua, adalah apabila umur yang meninggal tersebut sudah lanjut dan anak-anaknya semua sudah berkeluarga (menikah) dan sudah pula diupacarai dengan acara “Ngembahken Nakan” (memberi makan orang tua yang sudah uzur atau lama sakit dan dianggap kecil kemungkinan untuk sembuh) .
  2. Tabah-Tabah Galoh, merupakan kematian yang belum berumur lanjut, akan tetapi anak-anaknya sudah berkeluarga (menikah) semua.
  3. Mate Nguda, adalah suatu kematiaan ketika masih berusia muda, belum menikah dan bila sudah menikah, anak-anaknya belum menikah semua.

Sedangkan dipandang dari penyebab kematian dibagi dalam 9 (sembilan) jenis yakni ;
  1. Mati dalam kandungan, roh yang mati tersebut disebut Batara Guru.
  2. Mati belum dikenal kelaminnya (prematur), rohnya disebut Guru Batara atau Sabutara.
  3. Mati sesudah lahir, roh yang mati tersebut disebut Bicara Guru.
  4. Mati belum tumbuh gigi, anak yang mati ini harus dikubur, dibungkus dengan kain putih (dagangen) dikeluarkan dari rumah adat dari pintu perik (jendela), seseorang menjulurkannya dari rumah dan yang lainnya menerimanya dari luar, penguburannya harus secara rahasia karena takut dicuri orang. Menurut kepercayaan orang-orang yang percaya pada ilmu gaib mayat bayi yang belum tumbuh gigi tersebut dapat dipergunakan untuk kelengkapan ilmu gaib (misalnya Puko = Aji Sirep). Konon Aji Sirep ini digunakan oleh maling-maling atau rampok agar penghuni rumah yang mau dirampoknya dalam keadaan tertidur pulas sehingga dia bebas beraksi.
  5. Anak-anak mati telah tumbuh gigi.
  6. Mati perjaka/gadis, pada kematian yang seperti ini bila dia perjaka, Anak Beru akan memasukkan kemaluan yg meninggal ini pada seruas bambu dan bila yang meninggal gadis, maka pada kemaluannya akan dimasukan tongkol jagung disertai ucapan: “Enda sekerajangenmu” (ini bagianmu). Adapula yang menyebutkan, “Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami” (anda telah kami kawinkan, karena itu kewajiban kami telah selesai). Kata-kata enda sekerajangenmu (ini bagianmu) oleh sebagian orang dipercayai agar roh yang meninggal ini tidak penasaran/ngiler (teran) karena belum merasai “sorga dunia” (hubungan intim suami istri). Dan kata-kata, “Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami” dari Anak Beru yang merupakan suatu pernyataan dari Anak Beru yang mengatakan tugasnya sudah selesai untuk mengantarkan/mengurus anak kalimbubunya sampai kejenjang pernikahan.
  7. Mati melahirkan, (sirang ture)
  8. Mati kayat-kayaten, (sakit-sakitan)
  9. Mate sada wari, (meninggal karena kecelakaan), kuburan orang ini dipisahkan dari kuburan umum dan biasanya dibuat dekat rumah ditanami galoh dan dipuja.

Bahwa dari rupa-rupa kematian diatas pelaksanaan adatnya ada kalanya ada tambahan-tambahan khusus tapi ucapara gendangnya hampir sama. Tambahan-tambahan khusus tersebut misalnya seperti terhadap kematian perjaka atau gadis pada kemaluan laki-laki dipasang ruas bambu dan pada kemaluan gadis dimasukan tongkol jagung. Tadi telah diuraikan bahwa pada kematian yang disebabkan keadaan-keadaan yang berbeda maka roh yang mati tersebut dipanggil dengan sebutan berbeda-beda pula.

Refrensi :
  1. http://silima-merga.blogspot.com/2011/01/upacara-kematian.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar